Ribuan kader takzim menyimak pidato Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Ketika Megawati menyebut militansi kader dengan istilah “biar gepeng, asal banteng”, serentak mereka pekikan kata merdeka seraya mengacungkan tinju di udara. Merdeka! Bergemuralah Assembly Hall JCC Senayan Jakarta siang itu. Para kader berkumpul memperingati ulang tahun PDI Perjuangan ke 45. Megawati meyakini meskipun tidak mendapat jabatan apapun, mereka tetap melakukan kerja-kerja ideologis. Masih banyak kader partai terus bertahan mengarungi gelombang samudera perjuangan karena keyakinan ideologi. Semboyan mereka dari dahulu hingga sekarang adalah “biar gepeng, asal banteng”.
“Sungguh, saya sangat mengapresiasi kader-kader seperti ini, yang memilih menjadi ‘serdadu lombok abang’ yang bertarung mempertahankan keputusan-keputusan politik konstitusional di parlemen, maupun di eksekutif,” kata Megawati dari mimbar podium, Rabu (10/1/2018).
Megawati menandaskan, rasa cinta para kader itu karena selalu teringat kepada Bung Karno, banteng dan kepada Ketua Umum PDI Perjuangan. Mereka sesungguhnya adalah penggerak roda mesin partai dengan mengibarkan panji-panji partai di seluruh pelosok tanah air.
“Terima kasih, sekali lagi terima kasih, sekali lagi terima kasih bagi para kader yang bertugas di Anak Ranting, Ranting, PAC, DPC dan DPD di seluruh Indonesia. Merdeka. Merdeka. Merdeka!,” pekik Megawati.
Untuk mengetahui isi lengkap pidato Ketua Umum PDI Perjuangan, silakan simak berikut ini.
PANCASILA: BINTANG PENUNTUN INDONESIA RAYA
Megawati: Rediscovery Pancasila
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Salam Damai Sejahtera untuk kita semua,
Om Swastyastu,
Namo Buddhaya.
Yang saya hormati dan saya sayangi Presiden Republik Indonesia Bapak Ir. Joko Widodo. Rekan sahabat saya Wakil Presiden Republik Indonesia Bapak Jusuf Kalla. Sekarang sama-sama berkantor dengan saya di sebuah unit yang dibentuk oleh Bapak Presiden mudah-mudahan bisa segera ditingkatkan menjadi badan. Kemudian Wakil Presiden ke-6 Bapak Try Sutrisno yang saya hormati. Juga rekan saya dahulu kami bersama-sama di kabinet yaitu, Wakil Presiden yang ke 11 Bapak Boediono, Ketua MPR Republik Indonesia juga Ketua Umum PAN Bapak Zulkifli Hasan, para pimpinan lembaga dan para menteri kabinet yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, terima kasih atas kedatangannya dan juga para ketua umum partai atau yang mewakili yang juga tidak bisa saya sebutkan satu persatu, meskipun saya yakin tiga harian ini masing-masing ketua umum pasti tidak tidur termasuk saya. Karena harus menyelesaikan tugas dari KPU hari ini adalah terakhir untuk memasukkan calon pimpinan daerah.
Sebelumnya kita, marilah terutama untuk anak-anakku di semua penjuru tanah air ini yang saya cintai, Merdeka Merdeka Merdeka!
Alhamdulillah kita panjatkan kehadiran Allah Yang Maha Esa, ternyata PDI Perjuangan mampu melewati badai hujan sejarah, 45 tahun yang lalu tepatnya pada tanggal 10 Januari 1973, Partai Nasional Indonesia atau PNI, Partai Kristen Indonesia atau Parkindo, Partai Katolik, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia atau IPKI dan Musyawarah Rakyat Banyak atau Murba melakukan fusi dengan nama Partai Demokrasi Indonesia atau yang terkenal dengan PDI. Pada 1 Februari 1999 yaitu saat Kongres ke 5 karena PDI ketika saya sebagai ketua umumnya, tidak diizinkan untuk ikut pemilihan umum kecuali mengubah nama. Maka dalam keputusan Kongres ke 5 itulah PDI mengubah namanya menjadi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang berideologi Pancasila 1 Juni 1945.
Hadirin yang saya hormati dan cintai, selain itu izinkan saya mengucapkan terima kasih kepada para pendiri partai, kepada para senior partai yang telah berjibaku selama ini mendampingi saya, membangun dan mempertahankan partai ini. Tahun 2017, PDI Perjuangan kembali telah kehilangan salah satu kader terbaiknya. Sepanjang yang saya ingat ketika pada waktu terjadi keprihatinan di tubuh PDI, maka senior-senior partai inipun menjadi terbelah dan salah satu beliau yang ingin saya katakan pada hari ini tidak pernah, “ketika saya tanya bapak mau ikut kemana? Saya seterusnya ikut kamu, Mega.” Karena baginya berpartai bukan tujuan untuk mendapatkan jabatan. Beliau memilih berjuang bersama partai ini karena keyakinan ideologi. Ideologi yang mengikat kami, ideologi yang mempertahankan persahabatan dalam politik. Ideologi yang membuat kami dalam situasi sesulit apapun tidak pernah kehabisan cara untuk bertahan dan mempertahankan partai tercinta ini. Beliau setia tetap bersama PDI Perjuangan hingga akhir hayatnya. Terima kasih kepada Bapak AP Batubara yang selalu berpegang teguh kepada Pancasila 1 Juni 1945. Meskipun tentunya banyak para senior yang telah mendahului yang tidak bisa saya sebutkan juga satu per satu namanya. Kami ingin mengucapkan beribu-ribu terima kasih kepada mereka.
Bertepatan dengan HUT PDI Perjuangan ke-45 ini, saya kembali mengucapkan syukur, bahwa akhirnya 1 Juni 1945 ditetapkan sebagai Hari Lahirnya Pancasila oleh Presiden Jokowi. Penetapan 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahirnya Pancasila menjadi suatu tonggak penting bagi Indonesia. Inilah “Rediscovery Pancasila”, penemuan kembali Pancasila yang sejati, Pancasila yang mampu menjadi leitstar, menjadi bintang penuntun yang dinamis bagi Indonesia. Pancasila Bintang Penuntun Bagi Indonesia Raya!
Pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno menyampaikan pidato politik tanpa teks di hadapan sidang BPUPK, tentang Dasar Negara Indonesia Merdeka. Namun demikian Bung Karno tidak pernah menyatakan dirinya sebagai penemu Pancasila. Bung Karno menyatakan bahwa dirinya hanya sebagai penggali Pancasila. Dari penggalian yang dilakukannya selama bertahun-tahun tersebut, Bung Karno menemukan berulangkali elemen-elemen yang selalu menonjol dari jiwa bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Beliau menggalinya dari jiwa masyarakat Indonesia sendiri. Menurutnya, jika tidak ada dalam jiwa masyarakat Indonesia sendiri, tidak mungkin Pancasila dijadikan sebagai dasar untuk Indonesia berdiri di atasnya. Jika tidak bersumber dari jiwa Indonesia, jika bukan appeal kepada jiwa Indonesia, jika tidak berakar pada jiwa Indonesia, tidak mungkin Pancasila dapat menjadi bintang penuntun yang dinamis.
*Amanat Bung Karno tentang Ketuhanan Yang Maha Esa*
Saya paparkan sedikit soal sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Jejak historis bangsa Indonesia menunjukkan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bagi bangsa Indonesia, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah bintang penuntun utama untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang mengejar kebajikan, menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang mengejar kebaikan. Oleh sebab itu, di dalam Pancasila, Ketuhanan dimasukkan dengan nyata dan tegas sebagai sila pertama. Dalam Pidato Lahirnya Pancasila, Bung Karno menjabarkan, mengamanatkan, menegaskan maksud dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa, “Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara berkebudayaan, yakni dengan tiada egosime agama. Dan hendaknya Negara Indonesia satu negara yang ber-Tuhan!” Pemahaman dan pengamalan sila pertama seperti yang dipesankan oleh Bung Karno tersebut, sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Saya yakin, lima sila dalam Pancasila pun adalah jawaban terhadap problem multi dimensi dunia di abad 21. Jadi, Pancasila tetap relevan di abad ini.
*Abad 21: Historis-Paradoks*
Pada abad ke-21 ini saya menengarai berlangsungnya suatu historis-paradoks. Historis-paradoks adalah suatu fenomena yang memperlihatkan pertentangan dalam sejarah peradaban manusia. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, membuat semua seakan terkoneksi. Jarak menjadi bukan kendala lagi dalam komunikasi dan interaksi manusia. Manusia seakan hidup bersama dalam satu rumah besar. Ironisnya, hidup bersama tetapi miskin komunikasi dan interaksi sosial secara langsung. Masing-masing individu, asik hidup di dunia mayanya masing-masing, sehingga terasing satu sama lain. Inilah perbedaan dengan abad sebelumnya. Masyarakat abad 21 adalah masyarakat informasi, yang membuat askes terhadap media dan penciptaan opini menjadi sangat mudah. Ekses negatifnya adalah banalisasi kebohongan, yaitu kebohongan yang direncanakan, direkayasa dan disebarkan tanpa pelaku merasa bersalah. Seringkali tujuannya pun adalah sengaja untuk membangkitkan permusuhan dan perpecahan. Akibatnya, tercipta impersonalisasi korban. “Korban yang tak berwajah”, di dunia maya korban tidak dikenali lagi wajahnya. Akibatnya, pelaku kekerasan pun menjadi lebih tega dan kejam. Tanpa punya rasa malu, para pelaku menggunakan identitas palsu untuk memaki, memfitnah, menghujat dan melakukan pembunuhan karakter terhadap siapapun yang mereka tidak sukai, dengan tanpa merasa bersalah, tanpa merasa menyesal.
*Megawati: Bahaya Era Post-Truth*
Pada abad ke-21 ini saya menengarai berlangsungnya suatu historis-paradoks. Historis-paradoks adalah suatu fenomena yang memperlihatkan pertentangan dalam sejarah peradaban manusia. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, membuat semua seakan terkoneksi. Jarak menjadi bukan kendala lagi dalam komunikasi dan interaksi manusia. Manusia seakan hidup bersama dalam satu rumah besar. Ironisnya, hidup bersama tetapi miskin komunikasi dan interaksi sosial secara langsung. Masing-masing individu, asik hidup di dunia mayanya masing-masing, sehingga terasing satu sama lain. Inilah perbedaan dengan abad sebelumnya. Masyarakat abad 21 adalah masyarakat informasi, yang membuat askes terhadap media dan penciptaan opini menjadi sangat mudah. Ekses negatifnya adalah banalisasi kebohongan, yaitu kebohongan yang direncanakan, direkayasa dan disebarkan tanpa pelaku merasa bersalah. Seringkali tujuannya pun adalah sengaja untuk membangkitkan permusuhan dan perpecahan. Akibatnya, tercipta impersonalisasi korban. “Korban yang tak berwajah”, di dunia maya korban tidak dikenali lagi wajahnya. Akibatnya, pelaku kekerasan pun menjadi lebih tega dan kejam. Tanpa punya rasa malu, para pelaku menggunakan identitas palsu untuk memaki, memfitnah, menghujat dan melakukan pembunuhan karakter terhadap siapapun yang mereka tidak sukai, dengan tanpa merasa bersalah, tanpa merasa menyesal. Saya selalu katakan, kalau mau tempur, ayo selesaikan dengan jantan.
Historis-paradoks melahirkan suatu fenomena yang dikenal dengan istilah post-truth (pasca kebenaran). Post-truth adalah iklim sosial politik, dimana emosi mengalahkan obyektivitas dan rasionalitas, serta cenderung menolak verifikasi fakta. Istilah ini menjadi popular setelah Oxford Dictionary menobatkannya menjadi Word of The Year pada tahun 2016. Istilah tersebut menjadi sangat dikenal terutama pada peristiwa Brexit (keluarnya Inggris dari Uni Eropa) dan Pemilu terakhir di Amerika. Post-truth adalah istilah yang lahir akibat anomali gelagat politik, yang dilakukan oleh politisi-politisi populis yang pandai memanipulasi emosi massa. Opini publik digiring sedemikian rupa melalui skenario pembohongan yang direncanakan dengan sistematis. Sampai terkadang, mampu membuat media dan jurnalisme mengalami kebimbangan dalam mencerna dan memberitakan pernyataan-pernyataan politik.
Post-truth dapat di-identifikasi pada perilaku politisi saat kampanye politik menjelang pemilihan. Sang aktor politik tersebut mahir mendekati massa dengan gestur dan bahasa yang meyakinkan. Ia campuradukkan antara nilai dan norma dengan opini personal, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya. Lalu, ia selipkan semacam gagasan irasional, yang dikemasnya dengan kesantunan dan gaya bahasa kekinian. Ia mampu tampil dengan berbagai perwujudan, tergantung siapa yang ia temui. Saya mengistilahkannya, “taktik untuk mengelabui dan menundukkan dengan strategi politik seribu wajah”. Padahal, jika dicermati apa yang disampaikannya, sesungguhnya hanya kebohongan yang menyerupai fakta. Mereka tanpa sungkan melakukan hoax berisi propaganda kebencian dan permusuhan. Tidak tanggung-tanggung, isu agama, suku dan ras dijadikan peluru hoax.
Pengorganisiran massa pun dapat dilakukan dengan memanfaatkan hoax. Tujuannya, untuk menciptakan “massa yang tidak sadar”, yang akan dengan mudah dikerahkan, digunakan bagi kepentingan politik apapun. Pada peristiwa-peristiwa tertentu, massa “patuh” seperti ini dapat diperalat dan dilibatkan dalam tindakan kekerasan yang memberangus kemanusiaan, tanpa perlu paksaan. Jika dikaji secara mendalam, praktek-praktek tersebut berpangkal dan berujung pada bagi-bagi kekuasaan dalam politik. Yang pada akhirnya tidak lebih dari persoalan kapital. Karena itu tidak-lah mengherankan jika era post-truth kemudian melahirkan politisi-politisi populis. Suatu sistem ekonomi yang jelas bertentangan dengan sistem ekonomi Pancasila.
*Megawati: Berpolitik Harus Berideologi*
Itulah sebabnya, mengapa saya berulangkali mengingatkan kepada kalian, bahwa berpolitik harus dengan ideologi Pancasila. Karena saya sangat menginginkan partai ini mampu melahirkan politisi-politisi yang berkarakter, punya prinsip. Sehingga, tidak tersesat dan menyesatkan rakyat saat dipercaya menjadi pemimpin. Camkan, ideologi bukan alat yang berfungsi untuk mengumpulkan pengikut dan melegitimasi para pemimpinnya. Ideologi bukan mesin untuk memproduksi pengikut yang patuh buta dan mati rasionalitasnya. Bukan untuk ciptakan pemimpin yang mahir memanipulasi. Ideologi yang benar, justru berfungsi untuk melahirkan massa yang sadar, melahirkan rakyat yang sadar akan tanggung jawabnya terhadap kepentingan nasional. Ideologi yang benar justru suatu penuntun bagi pemimpin untuk meleburkan diri dalam masalah sosial dan ekonomi yang dihadapi rakyat.
*Politik Ideologi vs Politik Post-Truth*
Saya berharap semua pihak mewaspadai fenomena post-truth yang saya sampaikan di atas. Jika praktek-praktek politik seperti itu dibiarkan tumbuh subur, maka politik tidak akan pernah menjadi jalan pengabdian yang mampu melahirkan keadilan dan kesejahteraan sosial. Politik hanya menjadi panggung atraksi permainan kompromi-kompromi yang menyenangkan segelintir orang. Politik hanya menjadi arena transaksi-transaksi ekonomi bagi individu dan kelompok tertentu. Tidak ada tempat bagi ideologi dalam permainan politik seperti itu. Yang terpenting bagi penganut post-truth adalah bagaimana mampu mengemas citra postif di media dan media sosial. Citra yang acapkali berbanding terbalik dengan kerja politik di dunia nyata. Mereka pun tidak ambil pusing, jika kebijakan yang dibuat tidak memberi solusi bagi problem yang dihadapi rakyat. Mereka tidak akan peduli, jika kebijakannya justru menambah beban rakyat. Bagi mereka, yang penting menjadi trending topic, yang penting terpilih dan terpilih lagi, saat pemilihan legislatif atau eksekutif.
Selama 45 tahun partai ini berdiri, saya telah menjadi saksi mata bagaimana kader-kader, ada yang begitu saja datang dan pergi. Saya menjadi sangat memahami karakter para kader, termasuk jika ada orang-orang yang mendekat kepada saya atau kepada partai ini. Mana yang benar-benar karena keyakinan ideologi yang sama, mana yang hanya karena hasrat kekuasaan dan ekonomi. Namun, Insyaallah saya tidak pernah gamang sedikit pun. Saya yakin, masih banyak kader-kader partai yang bertahan mengarungi gelombang samudera perjuangan karena keyakinan ideologi. Meskipun mereka tidak mendapatkan jabatan apapun, mereka tetap lakukan kerja-kerja ideologis. Semboyan mereka dari dahulu hingga sekarang, “biar gepeng, asal banteng”. Sungguh, saya sangat mengapresiasi kader-kader seperti ini, yang memilih menjadi “serdadu lombok abang”, yang bertarung untuk pertahankan keputusan-keputusan politik yang konstitusional di parlemen, maupun di eksekutif. Apresiasi juga saya selalu berikan kepada kader partai di akar rumput yang tidak tahu apa artinya jabatan itu. Mereka hanya selalu ingat, selalu ingat kepada Bung Karno kepada banteng dan kepada Ibu Mega yang mereka cintai. Saya sangat tahu, merekalah sesungguhnya yang menggerakkan roda mesin partai, mengibarkan panji-panji partai di seluruh pelosok tanah air. Terima kasih, sekali lagi terima kasih, sekali lagi terima kasih bagi para kader yang bertugas di Anak Ranting, Ranting, PAC, DPC dan DPD di seluruh Indonesia. Merdeka. Merdeka. Merdeka!
Ingat anak-anakku, partai ini harus tetap tegak berdiri, bukan karena dekat dengan kekuasaan, tetapi karena tetap berpegang teguh pada ideologi Pancasila 1 Juni 1945. Saudara-saudara se-bangsa dan se-tanah air, saya menyadari bahwa sudah saatnya PDI Perjuangan benar-benar mampu membuktikan, bahwa Pancasila bukan suatu ide utopis. Pancasila bukan segumpal pernyataan simbolik kosong. Cara satu-satunya, untuk membuktikan adalah dengan membumikan Pancasila. Bumikan dalam keputusan politik pembangunan yang direncanakan dengan baik, terukur, jelas tahapannya dan menyangkut segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, saya tegaskan dan saya tugaskan, terutama bagi kader partai yang sedang bertugas di legislatif dan eksekutif. Termasuk bagi para kader partai yang telah mendapatkan penugasan dalam Pilkada serentak 2018, saya tugaskan untuk menjalankan visi misi pembangunan yang telah disusun oleh partai. Hal ini partai putuskan, agar jelas, agar terang, tugas apa yang harus dikerjakan oleh petugas partai, agar tidak ada lagi yang salah tafsir dan salah tanggap.
* Tepat di usia partai yang ke 45 tahun, saya nyatakan visi PDI Perjuangan adalah “membentuk masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila, sesuai dengan Amanat Penderitaan Rakyat yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, sebagai perwujudan dari Cita-Cita Rakyat Indonesia, seperti yang digambarkan oleh Proklamator kita Bung Karno.” Cita-cita tersebut wajib diperjuangkan melalui misi dijalankannya “Pola Pembangunan Berdikari”. Inilah visi misi politik pembangunan yang wajib mengikutsertakan rakyat.*
Karena, rakyat adalah sumber, rakyat adalah tujuan, rakyat adalah cakrawati bagi PDI Perjuangan! Terima kasih kepada seluruh rakyat Indonesia yang telah melabuhkan pilihan dan kepercayaan politiknya kepada PDI Perjuangan. Doa dan perjuangan kami, selalu, selalu, dan sekali lagi, selalu selama-lamanya untuk rakyat, bangsa dan negara Indonesia!
Terakhir, untuk kader-kader partai di seluruh tanah air. Saya berpesan kepada kalian, terutama Tiga pilar Partai, yaitu: struktur partai, legislatif, dan eksekutif. Jangan kehilangan orientasi, jangan disorientasi, pegang teguh ideologi Pancasila 1 Juni 1945. Jadikan Pancasila bintang penuntun yang membimbingmu dalam menentukan langkah dan keputusan politik! Berfokuslah, berpeganglah pada rakyat. Enyahkan alam pikiran pragmatis, singkirkan mental individualis! Jangan kompromis terhadap hal-hal prinsip yang menyangkut kehidupan dan keselamatan rakyat! Gelorakan jiwa gotong royong. Nyalakan suluh perjuangan! Nyalakan api pergerakkan! Satukan diri, singsingkan lengan, kepalkan tangan persatuan dan gemakan pekik merdeka sejati. Karena, tujuan kita adalah Indonesia Raya!
Terima kasih.
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Om Shanti Shanti Shanti Om.
Namo Budhaya
Merdeka!!!
Ketua PDI Perjuangan
Megawati Soekarnoputri
( Sumber : DPP PDI Perjuangan )